Humanitarian Emergencies dalam Kasus Epidemi Malaria
Author: Yudhistiro Adhi Permono
Editor: Staff Akademik Himaters UNS
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Anopheles yang terinfeksi oleh parasit Plasmodium yang menggigit manusia. Terdapat lima spesies parasit Plasmodium yang dapat menginfeksi nyamuk Anopheles yang dapat menularkan malaria dengan jenis yang berbeda, diantaranya yaitu: Plasmodium vivax yang menimbulkan malaria tertina benigna, Plasmodium falciparum yang dapat menimbulkan malaria tersiana maligna atau malaria tropik, Plasmodium malariae yang menimbulkan malaria jenis malaria kuartana, Plasmodium ovale yang menimbulkan malaria ovale, serta yang terakhir yaitu Plasmodium knowlesi yang hanya menginfeksi kera (Weny Rinawati & Fify Henrika, 2019). Biasanya orang yang telah terinfeksi malaria akan mengalami demam tinggi yang disertai menggigil serta muncul seperti flu. Malaria membutuhkan diagnosis cepat karena penyakit ini banyak memiliki penyulit serta menyebabkan kematian (Weny Rinawati & Fify Henrika, 2019).
Malaria merupakan penyakit tropik sehingga dapat berkembang di daerah dengan iklim tropis. Penyakit ini menjadi penyakit endemik di berbagai negara di wilayah Asia, Amerika Selatan, Amerika Tengah, Oceania, Karibia, dan Afrika. Menurut data yang dikeluarkan oleh WHO (World Health Organization), secara global di tahun 2023, diperkirakan kasus malaria terjadi sekitar 263 juta kasus (World Health Organization, 2024).
Data selanjutnya yang dikeluarkan oleh WHO (World Health Organization), menujukan bahwa kasus penyebaran malaria mengalami penurunan dari 79,0 menjadi 58,0 per 1000 penduduk di tahun 2000 hingga 2015. Kemudian antar tahun 2015 dan 2022, kasus penyebaran malaria cenderung stabil, hingga di tahun 2023 mengalami sedikit peningkatan menjadi 60,4 per 1000 penduduk dibanding tahun 2022 yang sebesar 58,6 dari 1000 penduduk. Kemudian untuk angka kematian yang disebabkan oleh malaria menunjukan di antara 2021 dan 2023, angka kematian yang disebabkan oleh malaria mengalami penurunan menjadi 597.000. Angka kematian akibat malaria mengalami penurunan sejak tahun 2000 hingga 2023 dengan menunjukan penurunan dari 28,5 menjadi 13, 7 per 100.000 penduduk (World Health Organization, 2024).
Jika dilihat dari data persebaran di Afrika, Pada tahun 2023, terdapat 246 juta kasus malaria dan 569.000 kematian yang disebabkan oleh malaria di Kawasan Afrika. Selama 5 tahun terakhir, antara tahun 2019 dan 2023, kasus penyebaran dan kematian yang diakibatkan oleh malaria diperkirakan meningkat masing-masing sebesar 23 juta dan 24.000, dengan puncaknya pada 598.000 kematian pada tahun 2020, yang terkait dengan pandemi COVID-19. Kawasan ini menyumbang sekitar 94% kasus dan 95% kematian secara global; 76% dari semua kematian di wilayah ini terjadi pada anak-anak berusia di bawah 5 tahun pada tahun 2023 dibandingkan dengan tahun 2000 yang menyumbang sekitar 91% kematian yang diakibatkan oleh malaria. Mengikuti tren serupa, sejak tahun 2000, insiden kasus malaria menurun dari 356 menjadi 227 kasus per 1000 populasi berisiko pada tahun 2023. Selama 5 tahun terakhir (2019–2023), meskipun insidennya tetap sama, peningkatan kasus yang diperkirakan merupakan hasil dari populasi berisiko yang meningkat pesat dan hampir dua kali lipat di Afrika sub-Sahara. Antara tahun 2000 dan 2023, angka kematian malaria menurun sebesar 63%, dari 140 menjadi 52 per 100.000 populasi berisiko (World Health Organization, 2024)
Sebagai contoh, salah satu negara di kawasan Afrika yang memiliki jumlah angka kematian tinggi yang diakibatkan oleh malaria adalah Sierra Leone. Menurut data dari WHO (World Health Organization), Malaria menempati peringkat pertama sebagai penyebab kematian dari populasi di Sierra Leone, diatas infeksi saluran pernapasan ringan yang berada di peringkat kedua. Di tahun 2021, Malaria menunjukan angka 101,1 kematian per 100.000 populasi (World Health Organization, 2023).
Sierra Leone merupakan salah satu negara di Benua Afrika, tepatnya berada di pantai barat Afrika. Negara ini berbatasan langsung dengan Guinea di sebelah timur dan utara, Liberia di selatan, dan Samudera Atlantik di barat. Sierra Leone dapat dibagi menjadi empat wilayah geografis yang berbeda, yaitu: rawa pesisir, dataran rendah, dataran tinggi pedalaman, dan wilayah pegunungan (LINK , 2015).
Sierra Leone memiliki iklim tropis dengan pergantian dari musim hujan dan kemarau. Kondisi umum di negara ini yaitu panas dan lembap. Musim hujan berlangsung dari bulan Mei hingga Oktober dengan curah hujan lebih tinggi di wilayah pesisir dibandingkan dengan wilayah pedalaman. Musim kemarau terjadi pada bulan November hingga April yang ditandai bertiup nya angina panas dan kering dari Sahara, angina tersebut biasa disebut dengan harmattan. Musim hujan di Sierra Leone memiliki suhu yang lebih dingin dibandingkan dengan musim kemarau. Kelembapan relative negara ini mencapai angka 90% untuk periode yang lama, terutama pada bulan — bulan terbasah yang terjadi pada Juni hingga September (LINK , 2015). Kondisi tersebut sangat memungkinkan untuk nyamuk berkembang biak dengan baik.
Sierra Leone juga menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Negara ini memiliki indeks pembangunan manusia sebesar 0,374 pada tahun 2013, yang mana angka tersebut tergolong rendah dan menempatkan Sierra Leone berada pada peringkat 183 dari 187 negara. Sierra Leone menglami kemerosotan di periode 1991–2002, dimana konflik bersenjata mempengaruhi perekonomian di Sierra Leone. Kemiskinan meluas dengan 60% penduduknya hidup dengan kurang dari US$ 1,25 per hari dan tingkat pengangguran dan buta huruf tetap tinggi, terutama di kalangan pemuda. Namun, setelah tahun 2002, Sierra Leone mengalami kemajuan (LINK , 2015). Di sisi lain, malaria menjadi penyakit yang dapat membebani ekonomi nasional. Banyak negara dengan kasus malaria tinggi merupakan negara miskin. Malaria menjadi lingkaran setan penyebaran penyakit serta kemiskinan (Weny Rinawati & Fify Henrika, 2019).
Humanitarian Emergencies setara dengan bencana besarm yang memiliki situasi yang buruk, dimana fungsi suatu komunitas atau masyarakat terganggu secara parah, yang menyebabkan penderitaan manusia dan kerugian mental yang melebihi kemampuan populasi yang terkena dampak untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri (World Health Organization, 2013). Pengetahuan mengenai epidemiologi malaria di daerah yang terkena dampak darurat kemanusiaan sangat penting untuk pencegahan dan penanganan kasus yang tepat. Endemisitas mengacu pada beban malaria di suatu daerah, diukur sebagai prevalensi infeksi pada suatu populasi. Epidemi malaria menandakna peningkatan tajam secara berkala pada kasus penyebaran malaria (World Health Organization, 2013). Pengendalian malaria dalam Humanitarian Emergencies sering kali menjadi rumit karena rusaknya serta layanan program kesehatan yang tidak memadai, pemindahan pekerja kesehatan dan staf lapangan yang memiliki keahlian malaria, dan perpindahan orang yang tidak kebal ke daerah endemis. Wilayah yang penduduknya paling terdampak oleh keadaan Humanitarian Emergencies sering kali merupakan wilayah dengan beban malaria terbesar. Akibatnya, malaria merupakan penyebab kematian dan penyakit yang signifikan dalam banyak keadaan darurat (World Health Organization, 2013).
Keadaan Humanitarian Emergencies dapat diklasifikasikan berdasarkan kecepatan timbulnya, durasinya, dan tempatnya, yang semuanya memiliki implikasi bagi strategi pengendalian penyakit menular. Keadaan darurat yang timbul dengan cepat dan yang timbul dengan lambat masing-masing menggambarkan situasi yang memburuk secara tiba-tiba atau bertahap, sementara keadaan darurat yang berlarut-larut (kronis) melibatkan tingkat kebutuhan kemanusiaan yang tinggi secara konsisten. Kriteria fase akut adalah tingkat kematian yang tinggi, akses yang buruk ke layanan kesehatan yang efektif bagi penduduk yang terdampak, kebutuhan respons yang melampaui kapasitas lokal atau nasional, dan kemungkinan rusaknya mekanisme koordinasi dan respons yang normal. Fase pasca-akut mencakup penurunan tingkat kematian puncak dan peningkatan akses ke bantuan kemanusiaan dan layanan kesehatan. Fase pemulihan ditandai dengan dimulainya kembali pemerintahan, penarikan badan-badan kemanusiaan (Messenger et al., 2021).
Sebelum sistem pengawasan diterapkan dalam keadaan darurat kemanusiaan, diperlukan informasi dasar tentang jumlah dan struktur populasi yang dimaksud. Perkiraan jumlah populasi dan demografi, telah dikumpulkan oleh badan tanggap darurat dan tersedia untuk digunakan dan dimasukkan ke dalam sistem pengawasan kesehatan. Dalam keadaan darurat kemanusiaan yang kompleks, sangat penting untuk memprioritaskan pengawasan terhadap kematian karena semua penyebab, kematian karena penyebab tertentu, morbiditas berdasarkan sindrom, dan morbiditas karena penyakit tertentu, termasuk malaria. Jika memungkinkan, hal ini harus dilakukan secara terpadu dan terstandarisasi melalui sistem yang ada, bukan secara paralel dengan sistem yang ada (World Health Organization, 2013). Tingkat kejadian malaria harus digunakan untuk memandu penentuan prioritas. Tingkat positifitas uji (misalnya RDT/mikroskopi) dapat berguna jika tingkat pencarian, pengujian, atau pelaporan kesehatan tidak dapat diperhitungkan untuk menilai perubahan dalam kejadian malaria. Hal ini dapat dikumpulkan melalui sistem pengawasan pasif yang tepat dari fasilitas kesehatan dan penyedia layanan lainnya (misalnya CHW). Oleh karena itu, data pengawasan harus digunakan untuk penentuan prioritas dan penargetan intervensi (World Health Organization, 2013).
Selama fase akut darurat kemanusiaan, prioritas pertama untuk pengendalian malaria adalah manajemen kasus yang efektif, dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat. Pengendalian akan ditentukan oleh sejumlah faktor utama termasuk risiko infeksi malaria dan dinamika penularan, demografi populasi, paparan malaria sebelumnya, perilaku dan mobilitas, serta pengaturan dan infrastruktur darurat (Messenger et al., 2021). Intervensi pengenadalian malaria yang yang direkomendasikan WHO diantaranya yaitu insecticide-treated nets (ITNs) dan indoor residual spraying (IRS) yang biasanya merupakan tindakan pencegahan lini pertama yang dipertimbangkan. Manajemen kasus yang efektif dapat dilengkapi dengan distribusi long-lasting insecticidal net (LLIN) yang menargetkan populasi paling rentan (Messenger et al., 2021).
Prioritas pertama dalam fase akut keadaan darurat adalah diagnosis dan pengobatan yang cepat dan efektif bagi penderita malaria, pencegahan dapat memberikan kontribusi penting untuk mengurangi risiko infeksi dan menyelamatkan nyawa. Ketika merencanakan pengendalian, penting untuk mempertimbangkan bagaimana pendekatan pencegahan malaria perlu diubah saat keadaan darurat kemanusiaan beralih dari fase akut ke fase pasca-akut. Prioritas fase akut adalah diagnosis dan pengobatan yang cepat dan efektif. Hal ini harus dilengkapi dengan metode penghalang pencegahan gigitan nyamuk — yang paling umum adalah LLIN. Selain itu Prioritas pertama dalam fase akut keadaan darurat adalah diagnosis dan pengobatan penderita malaria yang cepat dan efektif, pencegahan dapat memberikan kontribusi penting untuk mengurangi risiko infeksi dan menyelamatkan nyawa. Ketika merencanakan untuk kontrol, penting untuk mempertimbangkan bagaimana pendekatan pencegahan malaria perlu diubah sebagai darurat kemanusiaan bergerak dari fase akut ke fase pasca-akut. Prioritas fase akut adalah diagnosis dan pengobatan yang cepat dan efektif. Ini harus dilengkapi dengan metode penghalang pencegahan gigitan nyamuk — yang paling umum adalah LLIN. Selain itu, penggunaan IRS juga dapat dilakukan, namun IRS paling cocok untuk melindungi populasi yang lebih besar di tempat yang lebih padat. Prioritas fase pasca-akut diperluas seiring dengan stabilnya situasi. Mungkin saja untuk mencegah infeksi baru dengan menambahkan langkah-langkah pengendalian dengan cakupan luas, yaitu dengan menutupi sebagian besar populasi dengan kelambu berinsektisida atau menyemprot sebagian besar tempat tinggal dengan insektisida residu untuk mencapai dampak pada penularan (World Health Organization, 2013).
Beberapa langkah-langkah Humanitarian Emergencies tersebut dilakukan untuk mencegah epidemic malaria yang semakin meluas. Terlebih malaria sendiri dapat menular melalui perantara nyamuk Anopheles yang telah terinfeksi parasite Plasmodium sehingga perlu dilakukan cara pencegahan untuk menekan perkembangbiakan jenis nyamuk tersebut.
Referensi
LINK . (2015). Sierra Leone | LINK malaria. Web-Archive.lshtm.ac.uk. https://web-archive.lshtm.ac.uk/www.linkmalaria.org/country-profiles/sierra-leone.html
Messenger, L. A., Furnival-Adams, J., Pelloquin, B., & Rowland, M. (2021). Vector control for malaria prevention during humanitarian emergencies: protocol for a systematic review and meta-analysis. BMJ Open, 11(7), e046325. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2020-046325
Weny Rinawati, & Fify Henrika. (2019). Diagnosis Laboratorium Malaria. Journal of the Indonesian Medical Association, 69(10), 327–335. https://doi.org/10.47830/jinma-vol.69.10-2019-183
World Health Organization. (2013). Malaria Control In Humanitarian Emergencies : An Inter-agency field handbook (2nd ed.). World Health Organisation. https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=GrMXDAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=humanitarianisme+di+sierra+leone+untuk+malaria&ots=Yj6l3yksqf&sig=l3gqT2xEKBJCZedN_sjAWE1u9eE&redir_esc=y#v=onepage&q=humanitarianisme%20di%20sierra%20leone%20untuk%20malaria&f=false
World Health Organization. (2023). Sierra Leone Data | World Health Organization. Data.who.int. https://data.who.int/countries/694
World Health Organization. (2024). World Malaria Report 2024. World Health Organization.